Halaman

Sabtu, 05 Februari 2011

Cerita Live-in Sosial

Live-in sosial, satu kegiatan yang membuahkan refleksi bermakna berdasarkan pengalaman. Pengalaman yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Pengalaman yang tak akan tergantikan dan terlupakan. Pengalaman yang sangat mahal. Pengalaman yang akan dikenang seumur hidup. Itu semua karena pergulatan batin yang aku alami mulai dari persiapan, proses, hingga selepas live-in sosial.

Bagaimana tidak? Pergulatan batin diawali pada saat Romo Dwiko, S.J. datang ke kelasku dan memberikan gambaran tentang live-in sosial tahun ini. Romo menjelaskan bahwa live-in tahun ini akan lebih extreme dibanding tahun lalu. Live-in tahun lalu sebagian besar hanya berhadapan dengan situasi pedesaan. Sedangkan, live-in tahun ini berhadapan dengan sampah, orang cacat, orang kusta, preman, banci, dll. Mendengar cerita gambaran tentang live-in sosial, jantungku merasa deg-deg¬an alias khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun demikian, aku merasa tertantang karena ada suatu pengalaman baru yang menantang.

Gambaran tentang live-in sosial dari Romo Dwiko, S.J. semakin diperjelas dengan gambaran dari Fr. S. Arief Herdian Putra Tama, S.J. Frater Tama menggambarkan bahwa di dalam live-in sosial, siswa harus bekerja. Jika tidak bekerja, maka tak akan memperoleh sepiring nasi alias tidak makan. Aku semakin khawatir karena aku termasuk anak yang pemalas. “Apa jadinya jika aku malas bekerja saat live-in sosial? Bisa-bisa aku mati kelaparan.” kataku dalam hati, “Tapi tak apa. Ini akan melatih aku agar lebih giat dan bekerja keras.”

Satu lagi, dari gambaran tentang live-in dijelaskan pula bahwa semua siswa terbagi dalam beberapa kelompok dengan jumlah kelompok yang berbeda-beda. Pemilihan kelompok ditentukan oleh pihak sekolah. Setiap anggota dalam kelompok pada umumnya tidak saling mengenal. “Maka pandai-pandailah bergaul!” kata Romo. Maka dari itu, aku berusaha berkenalan dengan teman-teman yang belum dikenal.

Gambaran dari Romo dan Frater membuatku penasaran. Penasaran yang disebabkan gambaran dari mereka masih samar-samar bagiku. Aku belum mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi saat live-in pada saat sebelum live-in, karena gambaran tentang Romo dan Frater masih samar-samar bagiku. Apalagi, lokasi live-in sosial yang ditempati baru akan diketahui setelah melakukan perjalanan menuju lokasi. Sepertinya, Romo dan Frater hendak membuat kejutan pada saat live-in sosial.

Oleh karena aku belum mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi saat live-in, akupun berwaspada. Persiapan fisik maupun mental aku siapkan sebagai bukti kewaspadaanku. Persiapan fisik tentu saja aku lakukan dengan menjaga kesehatan. Namun, persiapan mental aku lakukan dengan cara berbeda. Aku mencoba lebih banyak bergaul dengan orang lain, dan mencoba melihat situasi yang tak biasa aku lihat.

Tanggal 23 Januari 2010, salah seorang teman memberi tahu bahwa pengumuman pembagian kelompok live-in tertulis di kertas yang ditempel pada ruang koran. Aku langsung menuju ruang Koran dan melihat pengumuman. Dalam pengumuman, siswa terbagi dalam beberapa kelompok. Ada kelompok bintang 1, bintang 2, bulan 1, bulan 2, bulan 3, matahari 1, matahari 2, matahari 3, matahari 4, matahari 5, matahari 6, matahari 7, dan matahari 8. Dari kelompok-kelompok tersebut, aku ada pada kelompok matahari 2. Dalam kelompok matahari 2, hanya akulah siswa dari kelas XI IPA-3. Tak ada teman sekelas, tapi tak apa. Banyak teman yang aku kenal dalam kelompok, meskipun ada banyak pula yang tak ku kenal.

Persiapan-persiapan live-in sosial aku lakukan. Persiapan makanan minuman ringan seperti snack, aqua, minuman lain aku siapkan secukupnya. Persiapan obat-obatan seperti obat cacing, obat diare, dan obat masuk angin aku siapkan secukupnya. Persiapan baju dan celana aku siapkan secukupnya. Persiapan perlengkapan mandi aku siapkan secukupnya. Persiapan uang juga aku siapkan, namun jumlah uang persiapannya berlebihan, hingga diatas RP.70.000,00. Tanggal 24 Januari 2010 pukul 16.22, aku masih melakukan persiapan terakhir yaitu berdoa.

Setelah persiapan, aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Saat masih berjalan, waktu menunjukkan pukul 16.30. Pukul 16.30 saat itu ialah waktu yang telah disepakati bersama untuk hadir ke sekolah untuk bersiap-siap live-in sosial. Aku langsung berlari-lari hingga sampai ke sekolah pukul 16.32. “Aduh, telat!” batinku.

Saat masuk ke sekolah, tepatnya depan kelas XI IPS-1 ternyata aku belum terlambat, karena ternyata masih breafing. “Lega.” Batinku. Di sekolah aku melihat banyak teman membawa persiapan yang jauh lebih banyak daripada aku. Aku jadi merasa kurang dalam persiapan.

Semua siswa dari kelompok matahari 1 dan 2 (grup 1) telah berkumpul. Setelah itu, ada pemeriksaan yang dilakukan oleh guru pendamping (pak Joyo dan pak Catur) bersama kakak kelas. Satu per satu tas, koper, kantong, dll diperiksa. Dalam pemeriksaan, ternyata HP, dompet, uang, dan bekal berlebihan, serta barang-barang tak penting (contoh : kartu bridge) tak boleh dibawa. HP dan uang sebesar RP.75.000,00 yang aku siapkan menjadi sia-sia karena ditahan sementara di sekolah. Dalam hati aku berkata, ”Untuk apa HP dan dompet disita? Apa mungkin bertujuan agar siswa belajar tidak bergantung pada HP dan seisi dompet?”

Meskipun HP dan dompet tersita, untunglah aku membawa bekal secukupnya dan tidak membawa barang tak penting. Semua barang dalam tasku boleh dibawa. “Untung tak berlebihan seperti banyak temanku. Jadi, tak ada barang yang tersita selain HP dan dompetku.” batinku, “Barang persiapan dari teman-teman banyak yang tersita. Makanya, kalau bawa barang jangan berlebihan!”

Semua persiapan dan pemeriksaan usai dilakukan. Kelompok matahari 1 dan 2 diberi nasi kotak sebagai makanan persiapan. Setelah itu, kelompok langsung menuju bus grup 1 dan berangkat dengan bus itu. Keberangkatan disambut dengan hujan yang cukup deras. Akibatnya baju yang aku kenakan cukup basah.

Dalam bus tak ada AC, toilet, dan ruang antar kursi sangat sempit disbanding bus yang biasa aku tumpangi. Tentu saja rasa tidak nyaman dan sumuk menghantui di dalam bus. Tapi untunglah cuaca hujan yang cukup dingin sangat membantu menghilangkan rasa sumuk dalam bus. Jadi, selama di dalam bus aku tidak merasa sumuk, meskipun tetap tak nyaman karena sempitnya ruang antar kursi.

Bagaimana dengan buang air kecil selama dalam perjalanan? Bus yang tak ada toilet dan tak ada uang sepeserpun mengakibatkan aku terpaksa buang air kecil sembarang saat aku hendak buang air kecil.

Selama perjalanan lebih dari 12 jam, aku merasa sedikit bosan karena tak ada HP yang selalu menemaniku. HP yang selalu kupakai untuk hiburan, seperti sms, internet, musik, video, dll tak menemaniku dalam perjalanan bahkan selama live-in. Tak ada hiburan, aku berusaha untuk menghibur diri. Bersenda gurau dengan kawan, melihat-lihat pemandangan, membayang-bayang bermain musik, dan nyemil itulah yang aku lakukan untuk menghibur diri.

Setelah lebih dari 12 jam perjalanan, akhirnya sampai pula di Jakarta Timur, tepatnya di sebuah pom bensin. Di pom bensin, semua siswa dan guru dari dalam bus turun dan menuju sebuah sanggar bernama Sanggar Anak Akar. Sesampai di sanggar, aku bersama rombongan mendapat sambutan meriah dari anak-anak Sanggar Anak Akar. Sambutan meriah berupa salam-salaman, perkenalan, hingga hidangan sarapan.

Di Sanggar, aku melihat-lihat isi sanggar. Aku melihat dapur dengan peralatan masak sederhana, tanpa kompor. Aku juga melihat cerobong asap, tempat jemuran, foto-foto kenangan, ruang kelas, ruang kantor, dan satu tempat yang tak ku sangka-sangka yaitu sebuah studio musik. Bayangkan! Di sebuah sanggar ada studio musik seperti sekolahku. Tak pernah terbayang sebelumnya.

Di Sanggar Anak Akar, aku berbincang-bincang bersama dengan anak sanggar sampai pukul 10.00. Pada pukul 10.00 semua rombongan grup 1 berkumpul untuk menerima penjelasan dari kepala sanggar yaitu Wak Karyo. Wak Karyo menjelaskan bahwa grup 1 berpencar ke 3 tempat. Ada yang ke Bantar Gebang, ada yang ke Tanah Abang, dan ada yang menetap sementara di Sanggar.

Penjelasan dari Wak Karyo semakin diperjelas oleh pak Joyo dan pak Catur. Mereka menjelaskan bahwa kelompok matahari 1 pergi ke Bantar Gebang, 25 orang dari kelompok matahari 2 pergi ke Tanah Abang, dan 5 orang ‘terpilih’ dari kelompok matahari 2 sementara menetap di Sanggar. Saat menjelaskan, pak Joyo mengumumkan 5 orang yang menetap sementara di Sanggar.

Mereka berlima ialah :

1) Alfonsus Andhika Pratama
2) Aloysius Toga Setiawan
3) Tri Nugroho Adiputra
4) Hans Christian Wibowo
5) Adrian Thomson

Ya, satu dari 5 orang terpilih itu adalah aku, Aloysius Toga Setiawan. Dalam hati berkata, “Wah! Bau-baunya aku dapat live-in spesial. Apa salahku sampai terpilih dari 30 orang kelompok matahari 2?” Perkataan yang serupa dari salah seorang teman yang juga terpilih, “Apa salah kita sampai terpilih dari kelompok matahari 2?”

Aku bersama 4 teman lain menetap sementara di Sanggar. Aku bersama 4 teman lain menetap sementara di Sanggar sampai pukul 12.00. Setelah pukul 12.00 aku bersama 4 teman lain hendak pergi ke Lapak dekat kantor Samsat.

Selama di Sanggar, secara spontan aku menyapu halaman, mencuci piring dan peralatan makan kotor, dan membantu memasak nasi dengan peralatan sederhana. Saat memasak nasi dengan peralatan sederhana, rasanya sangat membosankan. Harus menunggu dengan panas-panasan kian lama sambil menambahkan kayu untuk dibakar agar nasi matang.

Akhirnya jam menunjukkan pukul 12.00. Saatnya meninggalkan Sanggar Anak Akar. Aku bersama 4 teman diberi uang pinjaman masing-masing Rp 5.000,00 oleh Mas Krebo sebagai uang untuk perjalanan. Pinjaman berarti harus dikembalikan sebesar yang dipinjamkan. Setelah diberi pinjaman, diberilah petunjuk menuju lokasi sebagai berikut :

1) Keluar dari sanggar belok kiri.
2) Jalan terus sampai mentok di sebuah jembatan.
3) Tunggu sampai metromini no. 54 datang.
4) Tumpangi metromini no. 54 dan pergi menuju kantor Samsat.
5) Di depan kantor Samsat akan menemui Mas Krebo dan ikuti Mas Krebo.

Aku telah mengikuti petunjuk hingga sampai di depan kantor Samsat. Namun disana aku tak menemukan Mas Krebo. Aku mencari-mencari Mas Krebo. Aku kebingungan mencarinya hingga hampir putus asa.

Tiba-tiba ada seorang pemulung yang “mencurigakan”. Aku dan Andhika yang agak curiga dengan pemulung itu mengikuti pemulung itu. Sementara 3 teman lain justru masih menunggu di depan kantor Samsat. Aku dan Andhika mengikuti terus. Tiba-tiba kami berdua bertemu dengan Mas Krebo. “Untung, kita ikuti pemulung itu.” kataku. Saat bertemu dengan Mas Krebo, temanku memanggil teman lain yang masih menunggu di depan Samsat untuk segera ke tempat Mas Krebo berada.

Saat semua telah bertemu Mas Krebo, langsung menuju lokasi live-in. Disana aku langsung melihat bertumpuk-tumpuk sampah. Ada perasaan tak enak saat itu karena harus harus bertinggal di tempat sampah bertumpuk. Namun tak bisa dipungkiri, aku harus bertinggal sementara di tempat penuh sampah itu.

Saat memasuki Lapak dekat kantor Samsat, aku berkenalan dengan pemilik Lapak, yaitu pak Sarjimin. Aku disuguhi makanan nasi bungkus setelah berkenalan dan berbincang-bincang bersama pak Sarjimin. Rasa syukur tentu aku ucapkan, karena aku sangat membutuhkan makanan saat itu alias lapar.

Seusai berbincang-bincang, aku bersama 4 teman lain menawarkan diri untuk bekerja disana. Pak Sarjimin menerima tawaran. Aku memulai kerja dengan mengambil dan mengumpulkan botol-botol plastik bening yang berceceran. Setelah itu aku mengambil dan mengumpulkan gelas-gelas plastik. Setelah itu aku membantu mengangkut-angkut karung berisi sampah.

Pekerjaan itu terus dilakukan hingga sore hari. Lelah, capek, lapar aku rasakan karena belum terbiasa. Tapi untunglah aku mendapat upah berupa makanan sepiring. Tenaga menjadi pulih setelah makan. Namun demikian tak pulih 100%, sehingga aku menyegarkan diri dengan mandi disana dan beristirahat.

Saat-saat istirahat, akupun mulai merasa bosan. Bosan tak ada hiburan yang biasa aku dapatkan dari sebuah HP. Maka aku mencari-cari hiburan. Untunglah ada seorang yang mau meminjamkan 1 set kartu bridge. Jadi, ada hiburan setelah seharian bekerja. Tak hanya itu, hiburan aku dapatkan ketika ada gitar di pos satpam Lapak. Aku mainkan gitar itu untuk menghibur diri juga kawan-kawan.

Pada saat istirahat aku bersama menghibur diri sambil tidur-tiduran di pos satpam Lapak. Di pos satpam inilah tempat yang dijadikan kamar tidur bagiku dan keempat temanku. Banyak nyamuk, beralaskan tikar, mudah terganggu dari luar itulah yang ada di pos satpam Lapak. Tapi itu tak apa. “Yang penting tidak terlantar di pinggir jalan.” benakku.

Pertama kali tidur di pos satpam Lapak sangatlah sulit. Aku hanya dapat tidur 3,5 jam karena aku belum terbiasa. Apalagi berhadapan dengan nyamuk, membuatku sulit untuk tertidur.

Keesokkan hari aku terbangun pukul 06.30. Saat itu aku mengawali hari dengan sarapan (upah kerja), sikat gigi dan mengganti pakaian. Setelah itu aku langsung bekerja. Bekerja dari pagi hingga pukul 12.00 dan beristirahat sejenak. Setelah itu bekerja lagi hingga pukul 17.30. Sangat melelahkan. Namun tak bisa dipungkiri, tak bekerja tak dapat makan. Jadi harus tetap bekerja.

Setiap hari selama live-in aku bekerja. Pekerjaan yang aku lakukan selam live-in yaitu mengambil gelas plastik dan botol plastik bening dari tumpukan sampah yang membukit, menyusun gelas-gelas plastik menjadi seperti menara, membantu mengangkut-angkut berkarung-karung sampah yang akan ditimbang dan dibawa truk, menjadi kasir yang menghitung-hitung harga (aku lakukan pada hari Kamis, 27 Januari 2011 pukul 12.00 hingga 17.30). Satu lagi pekerjaan yang paling membosankan yaitu menyortir tutup botol berdasarkan warna.

Pekerjaan menyortir tutup botol memang membosankan. Harus menyortir hingga 11 karung tutup botol selama live-in. Pada awalnya aku menganggap mudah pekerjaan ini sebagai pekerjaan yang mudah diselesaikan. Namun ternyata 1 karung tutup botol saja memerlukan waktu yang lama. Bisa lebih dari 2 jam. Bayangkan jika 11 karung harus disortir? Berapa lama waku yang dibutuhkan hanya untuk menyortir tutup botol?

Karena pekerjaan menyortir tutup botol membosankan, maka akupun menghibur diri. Berbagai cara tanpa HP aku lakukan unutk menhibur diri. Bersenda gurau dengan kawan, bernyanyi, memukul alat-alat sekitar seperti bermain drum, dan mengoleksi tutup botol aku lakukan agar tak bosan.

Selama live-in ada satu dari sekian pengalaman menarik. Pada malam jumat, dalam keadaan yang sudah tertidur pulas aku dilempari sandal entah dari pak Didik atau Frater Tama. Aku tak merasakan sakit, hanya terbangun seperti biasa. Saat aku bangun pak Didik hanya berkata, “Kalian betah disini? Lanjut?” Benakku, “Pak guru datang kesini membangunkan aku dan 2 temanku hanya sekedar menyapa. Hebat!”

Waktu demi waktu akhirnya live-in segera usai. Hari Sabtu, aku hanya bekerja sampai pukul 12.00 karena setelah itu harus bersiap-siap untuk berkumpul di Sanggar dan kembali ke sekolah. Pukul 12.00 aku langsung bersiap-siap untuk berkumpul ke Sanggar dan tentu saja berpamitan dengan pak Sarjimin.

Saat berpamitan, aku diberikan berbagai sesuatu. Aku diberikan kenang-kenangan berupa uang langka. Selain itu, aku diberi uang Rp15.000,00 untuk ongkos metromini seharga Rp2.000,00, mengembalikan uang dari Mas Krebo, dan bekal untuk pulang.

Aku pulang membawa kenangan indah yaitu pengalaman berharga. Pengalaman yang tak terlupakan seumur. Pengalaman yang membawa refleksi. Banyak refleksi yang bisa menjadi Tuhan di tengah kesulitan hidup.

Salah satu refleksi itu adalah hidup harus bekerja. Hidup tanpa bekerja sama saja tak hidup karena tak dapat makanan dan uang sepeserpun. Maka dari itu, “Hidup harus bekerja keras”.

1 komentar:

Tuliskan komentarmu disini ...