Halaman

Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Mei 2011

APRESIASI SASTRA SEBUAH PERTANYAAN UNTUK CINTA

Setiap karya, baik karya sastra maupun karya lain pasti menyimpan nilai-nilai kehidupan yang patut direfleksikan. Sebuah karya sastra oleh Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Sebuah Pertanyaan untuk Cinta pun memiliki nilai-nilai kehidupan. Apa saja nilai-nilai kehidupan dalam karya romantis itu? Ya, nilai yang dapat aku temukan dalam cerita “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta” adalah nilai kesetiaan pada orang yang dicintai.

Wanita dalam cerita “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta” ini memang terkesan bawel saat berkali-kali memasukkan koin dan menelepon seorang yang sangat ia cintai. Namun demikian, wanita cantik itu tetap setia mencintainya, meskipun orang yang dicintai telah memiliki seorang istri. Bukti kesetiaannya nampak saat ia menelepon kekasihnya hingga 30 menit + 12 menit + ( 3x6 menit ) = 1 jam. Selain itu, ia menunjukkan kesetiaannya dengan menukar uang kertas dengan uang koin di sebuah kios rokok saat koinnya habis, mengantri dengan sabar, sampai ia pun menelepon kekasihnya lagi. Sungguh luar biasa kesetiaan wanita cantik jelita ini.

Aku pun belajar melalui kisah cinta ini. Aku belajar untuk lebih setia dengan orang-orang yang aku cintai. Dengan orang tua, saudara, sahabat, dan wanita pujaan, aku ingin selalu setia dengan mereka, sampai akhirnya aku pun meninggalkan bumi yang semakin panas ini. Aku akan mencoba untuk tidak meninggalkan mereka, orang aku cintai dalam keadaan apapun.

Baca selengkapnya......

Sabtu, 05 Februari 2011

Cerita Live-in Sosial

Live-in sosial, satu kegiatan yang membuahkan refleksi bermakna berdasarkan pengalaman. Pengalaman yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Pengalaman yang tak akan tergantikan dan terlupakan. Pengalaman yang sangat mahal. Pengalaman yang akan dikenang seumur hidup. Itu semua karena pergulatan batin yang aku alami mulai dari persiapan, proses, hingga selepas live-in sosial.

Bagaimana tidak? Pergulatan batin diawali pada saat Romo Dwiko, S.J. datang ke kelasku dan memberikan gambaran tentang live-in sosial tahun ini. Romo menjelaskan bahwa live-in tahun ini akan lebih extreme dibanding tahun lalu. Live-in tahun lalu sebagian besar hanya berhadapan dengan situasi pedesaan. Sedangkan, live-in tahun ini berhadapan dengan sampah, orang cacat, orang kusta, preman, banci, dll. Mendengar cerita gambaran tentang live-in sosial, jantungku merasa deg-deg¬an alias khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Namun demikian, aku merasa tertantang karena ada suatu pengalaman baru yang menantang.

Gambaran tentang live-in sosial dari Romo Dwiko, S.J. semakin diperjelas dengan gambaran dari Fr. S. Arief Herdian Putra Tama, S.J. Frater Tama menggambarkan bahwa di dalam live-in sosial, siswa harus bekerja. Jika tidak bekerja, maka tak akan memperoleh sepiring nasi alias tidak makan. Aku semakin khawatir karena aku termasuk anak yang pemalas. “Apa jadinya jika aku malas bekerja saat live-in sosial? Bisa-bisa aku mati kelaparan.” kataku dalam hati, “Tapi tak apa. Ini akan melatih aku agar lebih giat dan bekerja keras.”

Satu lagi, dari gambaran tentang live-in dijelaskan pula bahwa semua siswa terbagi dalam beberapa kelompok dengan jumlah kelompok yang berbeda-beda. Pemilihan kelompok ditentukan oleh pihak sekolah. Setiap anggota dalam kelompok pada umumnya tidak saling mengenal. “Maka pandai-pandailah bergaul!” kata Romo. Maka dari itu, aku berusaha berkenalan dengan teman-teman yang belum dikenal.

Gambaran dari Romo dan Frater membuatku penasaran. Penasaran yang disebabkan gambaran dari mereka masih samar-samar bagiku. Aku belum mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi saat live-in pada saat sebelum live-in, karena gambaran tentang Romo dan Frater masih samar-samar bagiku. Apalagi, lokasi live-in sosial yang ditempati baru akan diketahui setelah melakukan perjalanan menuju lokasi. Sepertinya, Romo dan Frater hendak membuat kejutan pada saat live-in sosial.

Oleh karena aku belum mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi saat live-in, akupun berwaspada. Persiapan fisik maupun mental aku siapkan sebagai bukti kewaspadaanku. Persiapan fisik tentu saja aku lakukan dengan menjaga kesehatan. Namun, persiapan mental aku lakukan dengan cara berbeda. Aku mencoba lebih banyak bergaul dengan orang lain, dan mencoba melihat situasi yang tak biasa aku lihat.

Tanggal 23 Januari 2010, salah seorang teman memberi tahu bahwa pengumuman pembagian kelompok live-in tertulis di kertas yang ditempel pada ruang koran. Aku langsung menuju ruang Koran dan melihat pengumuman. Dalam pengumuman, siswa terbagi dalam beberapa kelompok. Ada kelompok bintang 1, bintang 2, bulan 1, bulan 2, bulan 3, matahari 1, matahari 2, matahari 3, matahari 4, matahari 5, matahari 6, matahari 7, dan matahari 8. Dari kelompok-kelompok tersebut, aku ada pada kelompok matahari 2. Dalam kelompok matahari 2, hanya akulah siswa dari kelas XI IPA-3. Tak ada teman sekelas, tapi tak apa. Banyak teman yang aku kenal dalam kelompok, meskipun ada banyak pula yang tak ku kenal.

Persiapan-persiapan live-in sosial aku lakukan. Persiapan makanan minuman ringan seperti snack, aqua, minuman lain aku siapkan secukupnya. Persiapan obat-obatan seperti obat cacing, obat diare, dan obat masuk angin aku siapkan secukupnya. Persiapan baju dan celana aku siapkan secukupnya. Persiapan perlengkapan mandi aku siapkan secukupnya. Persiapan uang juga aku siapkan, namun jumlah uang persiapannya berlebihan, hingga diatas RP.70.000,00. Tanggal 24 Januari 2010 pukul 16.22, aku masih melakukan persiapan terakhir yaitu berdoa.

Setelah persiapan, aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Saat masih berjalan, waktu menunjukkan pukul 16.30. Pukul 16.30 saat itu ialah waktu yang telah disepakati bersama untuk hadir ke sekolah untuk bersiap-siap live-in sosial. Aku langsung berlari-lari hingga sampai ke sekolah pukul 16.32. “Aduh, telat!” batinku.

Saat masuk ke sekolah, tepatnya depan kelas XI IPS-1 ternyata aku belum terlambat, karena ternyata masih breafing. “Lega.” Batinku. Di sekolah aku melihat banyak teman membawa persiapan yang jauh lebih banyak daripada aku. Aku jadi merasa kurang dalam persiapan.

Semua siswa dari kelompok matahari 1 dan 2 (grup 1) telah berkumpul. Setelah itu, ada pemeriksaan yang dilakukan oleh guru pendamping (pak Joyo dan pak Catur) bersama kakak kelas. Satu per satu tas, koper, kantong, dll diperiksa. Dalam pemeriksaan, ternyata HP, dompet, uang, dan bekal berlebihan, serta barang-barang tak penting (contoh : kartu bridge) tak boleh dibawa. HP dan uang sebesar RP.75.000,00 yang aku siapkan menjadi sia-sia karena ditahan sementara di sekolah. Dalam hati aku berkata, ”Untuk apa HP dan dompet disita? Apa mungkin bertujuan agar siswa belajar tidak bergantung pada HP dan seisi dompet?”

Meskipun HP dan dompet tersita, untunglah aku membawa bekal secukupnya dan tidak membawa barang tak penting. Semua barang dalam tasku boleh dibawa. “Untung tak berlebihan seperti banyak temanku. Jadi, tak ada barang yang tersita selain HP dan dompetku.” batinku, “Barang persiapan dari teman-teman banyak yang tersita. Makanya, kalau bawa barang jangan berlebihan!”

Semua persiapan dan pemeriksaan usai dilakukan. Kelompok matahari 1 dan 2 diberi nasi kotak sebagai makanan persiapan. Setelah itu, kelompok langsung menuju bus grup 1 dan berangkat dengan bus itu. Keberangkatan disambut dengan hujan yang cukup deras. Akibatnya baju yang aku kenakan cukup basah.

Dalam bus tak ada AC, toilet, dan ruang antar kursi sangat sempit disbanding bus yang biasa aku tumpangi. Tentu saja rasa tidak nyaman dan sumuk menghantui di dalam bus. Tapi untunglah cuaca hujan yang cukup dingin sangat membantu menghilangkan rasa sumuk dalam bus. Jadi, selama di dalam bus aku tidak merasa sumuk, meskipun tetap tak nyaman karena sempitnya ruang antar kursi.

Bagaimana dengan buang air kecil selama dalam perjalanan? Bus yang tak ada toilet dan tak ada uang sepeserpun mengakibatkan aku terpaksa buang air kecil sembarang saat aku hendak buang air kecil.

Selama perjalanan lebih dari 12 jam, aku merasa sedikit bosan karena tak ada HP yang selalu menemaniku. HP yang selalu kupakai untuk hiburan, seperti sms, internet, musik, video, dll tak menemaniku dalam perjalanan bahkan selama live-in. Tak ada hiburan, aku berusaha untuk menghibur diri. Bersenda gurau dengan kawan, melihat-lihat pemandangan, membayang-bayang bermain musik, dan nyemil itulah yang aku lakukan untuk menghibur diri.

Setelah lebih dari 12 jam perjalanan, akhirnya sampai pula di Jakarta Timur, tepatnya di sebuah pom bensin. Di pom bensin, semua siswa dan guru dari dalam bus turun dan menuju sebuah sanggar bernama Sanggar Anak Akar. Sesampai di sanggar, aku bersama rombongan mendapat sambutan meriah dari anak-anak Sanggar Anak Akar. Sambutan meriah berupa salam-salaman, perkenalan, hingga hidangan sarapan.

Di Sanggar, aku melihat-lihat isi sanggar. Aku melihat dapur dengan peralatan masak sederhana, tanpa kompor. Aku juga melihat cerobong asap, tempat jemuran, foto-foto kenangan, ruang kelas, ruang kantor, dan satu tempat yang tak ku sangka-sangka yaitu sebuah studio musik. Bayangkan! Di sebuah sanggar ada studio musik seperti sekolahku. Tak pernah terbayang sebelumnya.

Di Sanggar Anak Akar, aku berbincang-bincang bersama dengan anak sanggar sampai pukul 10.00. Pada pukul 10.00 semua rombongan grup 1 berkumpul untuk menerima penjelasan dari kepala sanggar yaitu Wak Karyo. Wak Karyo menjelaskan bahwa grup 1 berpencar ke 3 tempat. Ada yang ke Bantar Gebang, ada yang ke Tanah Abang, dan ada yang menetap sementara di Sanggar.

Penjelasan dari Wak Karyo semakin diperjelas oleh pak Joyo dan pak Catur. Mereka menjelaskan bahwa kelompok matahari 1 pergi ke Bantar Gebang, 25 orang dari kelompok matahari 2 pergi ke Tanah Abang, dan 5 orang ‘terpilih’ dari kelompok matahari 2 sementara menetap di Sanggar. Saat menjelaskan, pak Joyo mengumumkan 5 orang yang menetap sementara di Sanggar.

Mereka berlima ialah :

1) Alfonsus Andhika Pratama
2) Aloysius Toga Setiawan
3) Tri Nugroho Adiputra
4) Hans Christian Wibowo
5) Adrian Thomson

Ya, satu dari 5 orang terpilih itu adalah aku, Aloysius Toga Setiawan. Dalam hati berkata, “Wah! Bau-baunya aku dapat live-in spesial. Apa salahku sampai terpilih dari 30 orang kelompok matahari 2?” Perkataan yang serupa dari salah seorang teman yang juga terpilih, “Apa salah kita sampai terpilih dari kelompok matahari 2?”

Aku bersama 4 teman lain menetap sementara di Sanggar. Aku bersama 4 teman lain menetap sementara di Sanggar sampai pukul 12.00. Setelah pukul 12.00 aku bersama 4 teman lain hendak pergi ke Lapak dekat kantor Samsat.

Selama di Sanggar, secara spontan aku menyapu halaman, mencuci piring dan peralatan makan kotor, dan membantu memasak nasi dengan peralatan sederhana. Saat memasak nasi dengan peralatan sederhana, rasanya sangat membosankan. Harus menunggu dengan panas-panasan kian lama sambil menambahkan kayu untuk dibakar agar nasi matang.

Akhirnya jam menunjukkan pukul 12.00. Saatnya meninggalkan Sanggar Anak Akar. Aku bersama 4 teman diberi uang pinjaman masing-masing Rp 5.000,00 oleh Mas Krebo sebagai uang untuk perjalanan. Pinjaman berarti harus dikembalikan sebesar yang dipinjamkan. Setelah diberi pinjaman, diberilah petunjuk menuju lokasi sebagai berikut :

1) Keluar dari sanggar belok kiri.
2) Jalan terus sampai mentok di sebuah jembatan.
3) Tunggu sampai metromini no. 54 datang.
4) Tumpangi metromini no. 54 dan pergi menuju kantor Samsat.
5) Di depan kantor Samsat akan menemui Mas Krebo dan ikuti Mas Krebo.

Aku telah mengikuti petunjuk hingga sampai di depan kantor Samsat. Namun disana aku tak menemukan Mas Krebo. Aku mencari-mencari Mas Krebo. Aku kebingungan mencarinya hingga hampir putus asa.

Tiba-tiba ada seorang pemulung yang “mencurigakan”. Aku dan Andhika yang agak curiga dengan pemulung itu mengikuti pemulung itu. Sementara 3 teman lain justru masih menunggu di depan kantor Samsat. Aku dan Andhika mengikuti terus. Tiba-tiba kami berdua bertemu dengan Mas Krebo. “Untung, kita ikuti pemulung itu.” kataku. Saat bertemu dengan Mas Krebo, temanku memanggil teman lain yang masih menunggu di depan Samsat untuk segera ke tempat Mas Krebo berada.

Saat semua telah bertemu Mas Krebo, langsung menuju lokasi live-in. Disana aku langsung melihat bertumpuk-tumpuk sampah. Ada perasaan tak enak saat itu karena harus harus bertinggal di tempat sampah bertumpuk. Namun tak bisa dipungkiri, aku harus bertinggal sementara di tempat penuh sampah itu.

Saat memasuki Lapak dekat kantor Samsat, aku berkenalan dengan pemilik Lapak, yaitu pak Sarjimin. Aku disuguhi makanan nasi bungkus setelah berkenalan dan berbincang-bincang bersama pak Sarjimin. Rasa syukur tentu aku ucapkan, karena aku sangat membutuhkan makanan saat itu alias lapar.

Seusai berbincang-bincang, aku bersama 4 teman lain menawarkan diri untuk bekerja disana. Pak Sarjimin menerima tawaran. Aku memulai kerja dengan mengambil dan mengumpulkan botol-botol plastik bening yang berceceran. Setelah itu aku mengambil dan mengumpulkan gelas-gelas plastik. Setelah itu aku membantu mengangkut-angkut karung berisi sampah.

Pekerjaan itu terus dilakukan hingga sore hari. Lelah, capek, lapar aku rasakan karena belum terbiasa. Tapi untunglah aku mendapat upah berupa makanan sepiring. Tenaga menjadi pulih setelah makan. Namun demikian tak pulih 100%, sehingga aku menyegarkan diri dengan mandi disana dan beristirahat.

Saat-saat istirahat, akupun mulai merasa bosan. Bosan tak ada hiburan yang biasa aku dapatkan dari sebuah HP. Maka aku mencari-cari hiburan. Untunglah ada seorang yang mau meminjamkan 1 set kartu bridge. Jadi, ada hiburan setelah seharian bekerja. Tak hanya itu, hiburan aku dapatkan ketika ada gitar di pos satpam Lapak. Aku mainkan gitar itu untuk menghibur diri juga kawan-kawan.

Pada saat istirahat aku bersama menghibur diri sambil tidur-tiduran di pos satpam Lapak. Di pos satpam inilah tempat yang dijadikan kamar tidur bagiku dan keempat temanku. Banyak nyamuk, beralaskan tikar, mudah terganggu dari luar itulah yang ada di pos satpam Lapak. Tapi itu tak apa. “Yang penting tidak terlantar di pinggir jalan.” benakku.

Pertama kali tidur di pos satpam Lapak sangatlah sulit. Aku hanya dapat tidur 3,5 jam karena aku belum terbiasa. Apalagi berhadapan dengan nyamuk, membuatku sulit untuk tertidur.

Keesokkan hari aku terbangun pukul 06.30. Saat itu aku mengawali hari dengan sarapan (upah kerja), sikat gigi dan mengganti pakaian. Setelah itu aku langsung bekerja. Bekerja dari pagi hingga pukul 12.00 dan beristirahat sejenak. Setelah itu bekerja lagi hingga pukul 17.30. Sangat melelahkan. Namun tak bisa dipungkiri, tak bekerja tak dapat makan. Jadi harus tetap bekerja.

Setiap hari selama live-in aku bekerja. Pekerjaan yang aku lakukan selam live-in yaitu mengambil gelas plastik dan botol plastik bening dari tumpukan sampah yang membukit, menyusun gelas-gelas plastik menjadi seperti menara, membantu mengangkut-angkut berkarung-karung sampah yang akan ditimbang dan dibawa truk, menjadi kasir yang menghitung-hitung harga (aku lakukan pada hari Kamis, 27 Januari 2011 pukul 12.00 hingga 17.30). Satu lagi pekerjaan yang paling membosankan yaitu menyortir tutup botol berdasarkan warna.

Pekerjaan menyortir tutup botol memang membosankan. Harus menyortir hingga 11 karung tutup botol selama live-in. Pada awalnya aku menganggap mudah pekerjaan ini sebagai pekerjaan yang mudah diselesaikan. Namun ternyata 1 karung tutup botol saja memerlukan waktu yang lama. Bisa lebih dari 2 jam. Bayangkan jika 11 karung harus disortir? Berapa lama waku yang dibutuhkan hanya untuk menyortir tutup botol?

Karena pekerjaan menyortir tutup botol membosankan, maka akupun menghibur diri. Berbagai cara tanpa HP aku lakukan unutk menhibur diri. Bersenda gurau dengan kawan, bernyanyi, memukul alat-alat sekitar seperti bermain drum, dan mengoleksi tutup botol aku lakukan agar tak bosan.

Selama live-in ada satu dari sekian pengalaman menarik. Pada malam jumat, dalam keadaan yang sudah tertidur pulas aku dilempari sandal entah dari pak Didik atau Frater Tama. Aku tak merasakan sakit, hanya terbangun seperti biasa. Saat aku bangun pak Didik hanya berkata, “Kalian betah disini? Lanjut?” Benakku, “Pak guru datang kesini membangunkan aku dan 2 temanku hanya sekedar menyapa. Hebat!”

Waktu demi waktu akhirnya live-in segera usai. Hari Sabtu, aku hanya bekerja sampai pukul 12.00 karena setelah itu harus bersiap-siap untuk berkumpul di Sanggar dan kembali ke sekolah. Pukul 12.00 aku langsung bersiap-siap untuk berkumpul ke Sanggar dan tentu saja berpamitan dengan pak Sarjimin.

Saat berpamitan, aku diberikan berbagai sesuatu. Aku diberikan kenang-kenangan berupa uang langka. Selain itu, aku diberi uang Rp15.000,00 untuk ongkos metromini seharga Rp2.000,00, mengembalikan uang dari Mas Krebo, dan bekal untuk pulang.

Aku pulang membawa kenangan indah yaitu pengalaman berharga. Pengalaman yang tak terlupakan seumur. Pengalaman yang membawa refleksi. Banyak refleksi yang bisa menjadi Tuhan di tengah kesulitan hidup.

Salah satu refleksi itu adalah hidup harus bekerja. Hidup tanpa bekerja sama saja tak hidup karena tak dapat makanan dan uang sepeserpun. Maka dari itu, “Hidup harus bekerja keras”.

Baca selengkapnya......

Minggu, 28 November 2010

Masa Paling Indah, Masa SMP Kelas 9

Setiap manusia memiliki masa paling indah. Akupun memiliki masa paling indah. Ya, masa paling indah adalah masa SMP kelas 9. Ini berbeda dengan khalayak orang dimana masa terindah adalah masa SMA.

Ya, ini kata-kata singkatnya ...


Sesuai angkanya, 9 adalah angka indah. Maka masa SMP kelas 9 pun juga indah. Simak saja keindahan masa ini. Keindahan tak harus berupa kebaikan. Kenakalan bahkan bisa menjadi keindahan.

Pura-pura sakit dan main-main di UKS, rambut dipotong guru karena agak gondrong, keluar dari kelas karena terlambat masuk setelah istirahat, ''ngerjain'' teman, menyontek bahkan saat UN, jalan-jalan saat pelajaran, rokok, minum, koleksi xxx, mengintip, merusak banyak barang, kabur dari sekolah, dan masih banyak lagi kenakalan lain. Kenakalan yang benar-benar menghasilkan keindahan.

Kalau diceritakan sebagai narasi dari kenakalan yang telah tersebut secara lengkap tentu saja menghasilkan buku tebal. Lebih baik cerita secara singkat, padat, dan jelas. Pastinya, semua kenakalan itu bertujuan untuk keindahan yang akan terkenang sepanjang hidup.

Tak hanya kenakalan, banyak hal lain yang menjadi keindahan. Pacaran, ngeband dan manggung di sekolah, jalan-jalan ke pantai saat jam olahraga tak ada olahraga, bermain futsal menang taruhan, liburan eksklusif (tak perlu disebutkan) menjadi hal membuat keindahan di masa SMP kelas 9. Keindahan ini akan terkenang sepanjang hidup. Dari setelah lulus SMP hingga nanti.

Keindahan masa SMP kelas 9 pun membuatku bertanya,"Apakah ada masa dalam hidupku yang melebihi?" Pertanyaan ini sulit terjawab ya, karena ku merasa masa ini yang paling indah.

Baca selengkapnya......

Senin, 04 Oktober 2010

Pintunya Gak Cukup

Ada 2 orang yang sangat berbeda. Seorang berbadan tinggi (sebut saja si besar), sedang seorang lagi berbadan pendek (sebut saja si pendek). Mereka sulit untuk rukun walaupun si pendek mencoba merukun. Si tinggi selalu saja berusaha menghancurkan si pendek namun si pendek tak pernah hancur.


Suatu saat mereka berhadapan dengan sebuah pintu. Pintu itu disebut-sebut sebagai pintu surga. Pintu itu istimewa tapi setiap orang bisa masuk, asal mencukupi.

Si tinggi berkata ,"Hei si pendek, mana mungkin kamu bisa masuk pintu itu. paling aku yang bisa masuk, karena aku istimewa (berbadan tinggi)" Si pendek dengan rendah hati berkata ,"Baiklah coba kamu masuk terlebih dahulu." Dengan gagah menjinjit si tinggi mencoba masuk pintu. Ia memang istimewa namun ternyata ia tak bisa masuk pintu surga.

Lalu si pendek mencoba masuk ke pintu surga. Apa yang terjadi? Ternyata ia bisa masuk pintu surga. Sebelum ia masuk ke surga, ia berkata kepada si tinggi,"Kecilkan dirimu selayaknya diriku agar masuk surga." Maka si tinggi dengan kecewa berkata "Cerewet."

Tiba-tiba si tinggi berhadapan dengan pintu neraka. Pintunya sangat besar. Siapapun bisa masuk tanpa kecuali, namun di dalamnya terdapat bara api selaksa kali lipat panasnya dibanding matahari.

Si tinggi dengan perasaan kecewa, justru memasuki pintu neraka. Lalu ia dibakar rasa kecewa, sombong, dan lain sebagainya selamanya.

Selesai....

Baca selengkapnya......

Jumat, 24 September 2010

Makan Bersama Teman Membantu Hilangkan Stres

Tahukah kamu? (sepertinya sudah tahu)

...........
...........
...........

Ternyata makan bersama teman kamu yang benar-benar dekat dengan kamu, bisa membantu menghilangkan stres. Ini akan efektif pada saat selesai melakukan aktifitas yang mungkin membuat kamu stres, seperti mengerjakan UN, memgerjakan tesis, dll. Ini berdasarkan pada pengalamanku. Mau tahu ceritanya. Ini dia:

Ketika selesai mengerjakan ulangan mid, aku agak stres. Mengapa? Alasannya cuma satu, aku takut nilai ulangan midku tidak tuntas. Lalu, aku bersama teman-teman sekelas pergi bersama untuk makan bersama di SS.

Pada saat makan bersama, kami ngobrol bersama seperti ngobrol dalam suatu keluarga. Ini berarti aku dekat dengan mereka. Makanan disana mungkin dapat membuat lidah kepanasan, tapi kebersamaan membuat hati sejuk sehingga rasa panas di lidah tidak terasa (hehehe..).

Kami berngobrol ria dan secara tidak disadari, rasa stres karena takut nilai ulangan mid tidak tuntas mulai menghilang. Rasa stres itu semakin menghilang dan menghilang, hingga aku tidak stres lagi.

Terimakasih teman-teman.

Jadi...

Sudah terbuktikah bahwa makan bersama teman yang benar-benar dekat dengan kamu dapat membantu menghilangkan Stres?

Maka dari itu, cobalah untuk lakukan itu SEKARANG.

Ada komentar? Silahkan tulis pada komentar.

Baca selengkapnya......

Senin, 20 September 2010

Tersesat di Dalam Dunia Mimpi (cerpen karya: Aloysius Toga S)

Setelah pergi dari kerutinannya, seorang pria sang gagah berani pun menenangkan diri sejenak. Tenang, tenang, dan tenang. Ia menenangkan diri tak berapa waktu lamanya. Ia menenangkan diri sambil menunggu datangnya sang malam.

“Sang malam memang selalu tepat untuk memasukkan pikiran manusia ke dalam sebuah dunia mimpi” seraya pria sang gagah berani berkata.

Sang malam pun datang dengan ciri khasnya. Gelap, sunyi, nan indah merupakan ciri khas yang dibawanya saat itu. Maka pria yang usai menenangkan diri pun memuja sang malam yang membawa gelap, sunyi nan indah. Pria itu memuja sang malam dan ingin memasukkan pikiran ke dalam dunia mimpi.

Keinginannya tak berapapun lamanya dikabulkan sang malam. Dalam hati pria itu hendak memberi wujud balas kasih. Wujud balas kasih yakni terima kasih pada sang malam. Sang malam perlahan-lahan memasukkan pikirannya ke dalam dunia mimpi, dunia yang penuh misteri dan tiada unsur sadar. Maka pikiran seorang pria yang usai terkabul permintaannya masuk dalam dunia tanpa unsur sadar.


* * *


Pikirannya pun membuka pagar gerbang dunia mimpi. Pikirannya melihat dan menemukan berbagai misteri. Misteri yang tentu hanya dunia mimpi yang meng-ada-kannya.

“Betapa jumlah sejuta laksa banyaknya!” seraya pikirannya berkata.

Pikirannya menemukan berjuta laksa misteri yang tentu hanya di dunia mimpi. Entah karena sebab nan alasan apa pikirannya sanggup bergairah menelusuri dunia mimpi lebih dalam, lebih dalam, dan lebih dalam. Gairah pikirannya benar adanya tercurah pada gaya penelusuran pikirannya yang berkelok-kelok mencari semua misteri dalam dunia mimpi.

Telah hampir semua misteri usai ditemukan pikirannya. Namun satu misteri yang paling benar bermukjizat belum ditemukan pikirannya. Ya, misteri sang Mahabesar belum ditemukan pikirannya.

Pikirannya pun mencari misteri satu ini dengan gairah pikirannya yang benar adanya.

“Aku percaya, bisa!”

“Aku percaya, bisa!”

“Aku percaya, bisa!”

Gairah pikirannya kian mencurah semenjak 3 kalimat yang terdiri dari 3 kali 3 kata tercetus.

“Ya. Aku percaya, bisa!” Sekali lagi kalimat itu tercetus pikirannya yang seolah berperan sebagai sahutan atas cetusan 3 kalimat itu.


* * *


Benar adanya. Maka api kepercayaan pun segeralah mengkobarkan gairah pikirannya agar semakin benar adanya. Namun, sayang nan disayangkan api kepercayaan sesekali meredup ketika pikirannya menemukan kesesatan. Kesesatan bukan kesesatan dalam tembok-tembok labirin. Kesesatan melainkan kesesatan dalam lubang kegelapan tanpa jalan nan jalur.

Pikirannya pun seolah masuk dalam lubang kegelapan akan kesesatan. Dalam lubang, pikirannya terdapat berjuta laksa cobaan laksana jumlah misteri yang usai ditemukan pikirannya. Betapa jumlah cobaan harus dihadang pikirannya. Maka pikirannya pun menghadang betapa jumlah cobaan itu.

Satu demi satu.

Dua demi dua.

Tiga demi tiga.

Empat demi empat.

Pikirannya dengan mudah menghadang empat cobaan pertama. Gairah pikirannya pun lebih benar tercurah adanya semenjak usai menghadang empat cobaan pertama. Usai demikian, pikirannya pun mulai kembali menghadang. Tentunya menghadang cobaan kelima hingga ke-berjuta laksa cobaan.

Lima demi lima. Cobaan dalam kedamaian.

Enam demi enam. Cobaan dalam kesabaran.

Tujuh demi tujuh. Cobaan dalam kerumitan.

Delapan demi delapan. Cobaan dalam kesunyian.

Sembilan demi sembilan. Cobaan dalam kepengetahuan.

Sepuluh demi sepuluh. Cobaan dalam kedukacitaan.

Telah usai sepuluh cobaan dihadang pikirannya. Ini tentu dengan bantuan gairah pikirannya yang usai kembali terkobar oleh api kepercayaan.

“Hai, para cobaan. Betapa banyak jumlahnya laksana betapa banyak misteri dalam dunia mimpi.” seraya pikirannya lagi, berkata.

Dan pikirannya pun memulai kembali menghadang cobaan kesebelas hingga ke-berjuta laksa. Pikirannya mengalami kerumitan di sela menghadang berjuta laksa cobaan. Kerumitan itu kian merumit ketika cobaan semakin menghadang. Merumit dan kian merumit.


* * *


Namun, di sela kerumitan dan perhadangan akan berjuta laksa cobaan, api kepercayaan nan gairah yang usai ada dalam pikirannya bermukjizat betapapun perkasanya hingga berujung pada cobaan terakhir.

Akhirnya inilah cobaan terakhir yang kunjung dihadang pikirannya. Berjuta laksa demi berjuta laksa usai dihadangnya. Cobaan terakhir, cobaan dalam cinta.

“Hai, cobaan terakhir. Segeralah aku menghadangmu!” seraya pikirannya lagi, berkata.

Maka pikirannya pun segeralah menghadang cobaan terakhir. Api kepercayaan entah mukjizat pun tak mampu menjelaskan pasalnya, tiba-tiba sesaat meredup. Pikiran pun menghadang sendirian dan benar adanya sepi.

Pikirannya mencapai puncak kerumitan di sela menghadang cobaan dalam cinta alias cobaan terakhir. Pikirannya sesaat hendak bangun dari dunia mimpi menuju dunia nyata. Namun, apadaya pikirannya tertakdirkan untuk menghadang cobaan terakhir. Maka pikirannya pun berlanjut menghadang cobaan dalam cinta.

“Akhirnya…” seraya pikirannya berkata hendak selesai menghadang cobaan dalam cinta.

Benar adanya. Pikirannya usai menghadang cobaan dalam cinta. Pikirannya menemukan misteri sang Mahabesar dan pikirannya pun kembali ke dunia nyata bersama pemiliknya, pria sang gagah perkasa dengan pengalaman mukjizat akan ketersesatan di di dunia mimpi.







Baca selengkapnya......